ETIKA GURU MENURUT PERSPEKTIF PARA PEMIKIR ISLAM
MAKALAH
Disusun oleh:
Syamsul Aripin
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2009
BAB I
PENDAHULUAN
Faktor terpenting bagi seorang guru adalah etikanya. itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak aau penhacur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah).
Perasaan dan emosi guru yang mempunyai kepribadian terpadu tampak stabil, optimis dan menyenangkan. Dia dapat memikat hati anak didiknya, karena setiap anak merasa diterima dan disayangi oleh guru, betapapun sikap dan tingkah lakunya.
Tingkah laku atau moral guru pada umumnya, merupakan penampilan lain dari kepribadiannya. Bagi anak didik yang masih kecil, guru adalah contoh teladan yang sangat penting dalam pertumbuhannya, guru adalah orang pertama sesudah orang tua, yang mempengaruhi pembinaan kepribadian anak didik. Kalaulah tingkah laku atau akhlak guru yang tidak baik, pada umumnya akhlak anak didik akan rusak olehnya, karena anak mudah terpengaruh oleh orang yang dikaguminya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika Guru
Sebenarnya kode etika pada suatu kerja adalah sifat-sifat atau ciri-ciri vokasional, ilmiah dan aqidah yang harus dimiliki oleh seorang pengamal untuk sukses dalam kerjanya. Lebih ketara lagi ciri-ciri ini jelas pada kerja keguruan. Dari segi pandangan Islam, maka agar seorang muslim itu berhasil menjalankan tugas yang dipikulkan kepadanya oleh Allah S.W.T pertama sekali dalam masyarakat Islam dan seterusnya di dalam masyarakat antarabangsa maka haruslah guru itu memiliki sifat-sifat yang berikut:
1. Bahwa tujuan, tingkah laku dan pemikirannya mendapat bimbingan Tuhan (Rabbani), seperti disebutkan oleh surat Al-imran, ayat 79, “Tetapi jadilah kamu Rabbani (mendapat bimbingan Tuhan)”.
2. Bahwa ia mempunyai persiapan ilmiah, vokasional dan budaya menerusi ilmu-ilmu pengkhususannya seperti geografi, ilmu-ilmu keIslaman dan kebudayaan dunia dalam bidang pengkhususannya.
3. Bahwa ia ikhlas dalam kerja-kerja kependidikan dan risalah Islamnya dengan tujuan mencari keredhaan Allah S.W.T dan mencari kebenaran serta melaksanakannya.
4. Memiliki kebolehan untuk mendekatkan maklumat-maklumat kepada pemikiran murid-murid dan ia bersabar untuk menghadapi masalah yang timbul.
5. Bahwa ia benar dalam hal yang didakwahkannya dan tanda kebenaran itu ialah tingkah lakunya sendiri, supaya dapat mempengaruhi jiwa murid-muridnya dan anggota-anggota masyarakat lainnya. Seperti makna sebuah hadith Nabi S.A.W, “Iman itu bukanlah berharap dan berhias tetapi meyakinkan dengan hati dan membuktikan dengan amal”.
6. Bahwa ia fleksibel dalam mempelbagaikan kaedah-kaedah pengajaran dengan menggunakan kaedah yang sesuai bagi suasana tertentu. Ini memerlukan bahawa guru dipersiapkan dari segi professional dan psikologikal yang baik.
7. Bahwa ia memiliki sahsiah yang kuat dan sanggup membimbing murid-murid ke arah yang dikehendaki.
8. Bahwa ia sedar akan pengaruh-pengaruh dan trend-trend global yang dapat mempengaruhi generasi dan segi aqidah dan pemikiran mereka.
9. Bahawa ia bersifat adil terhadap murid-muridnya, tidak pilih kasih, ia mengutamakan yang benar.
Seperti makna firman Allah S.W.T dalam surah al Maidah ayat ke 8,
“Janganlah kamu terpengaruh oleh keadaan suatu kaum sehinga kamu tidak adil. Berbuat adillah, sebab itulah yang lebih dekat kepada taqwa. Bertaqwalah kepada Allah, sebab Allah Maha Mengetahui apa yang kamu buat”.
Inilah sifat-sifat terpenting yang patut dipunyai oleh seorang guru Muslim di atas mana proses penyediaan guru-guru itu harus dibina.
Ada beberapa istilah yang harus diterangkan dahulu sebelum melanjutkan pembicaraan kita mengenai etika, yaitu:
1. Etika adalah aturan-aturan yang disepakati bersama oleh ahli-ahli yang mengamalkan kerjanya seperti keguruan, pengobatan dan sebagainya.
2. Nilai-nilai adalah yang menyertai setiap kerjanya itu seperti memberi pengkhitmatan yang sebaik-baiknya kepada pelanggan dan sebagainya.
3. Pengamalan semua kerjanya mementingkan amalan tetapi sebelum sampai kepada amalan, nilai-nilai kerjanya itu harus di hayati (intemalized).
4. Penghayatan yaitu penghayatan nilai-nilai maka nilai-nilai seperti ke ikhlasan, kejujuran, dedikasi dan lain-lain itu di hayati.
Faktor terpenting bagi seorang guru adalah etikanya. Etika itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak aau penhacur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah).
Perasaan dan emosi guru yang mempunyai etika terpadu tampak stabil, optimis dan menyenangkan. Dia dapat memikat hati anak didiknya, karena setiap anak merasa diterima dan disayangi oleh guru, betapapun sikap dan tingkah lakunya.
Pada dasarnya perubahan prilaku yang dapat ditunjukan oleh peserta didik harus dipengaruhi oleh latar belakang pendidkan dan pengalaman yang dimiliki oleh seorang guru. Atau dengan perkataan lain, guru mempunyai pengaruh terhadap perubahan perilaku peserta didik.
Seorang guru sangat berpengaruh terhadap hasil belajar yang dapat ditunjukan oleh peserta didik.
Perubahan dalam cara mengajar guru dapat dilatihkan melalui peningkatan kemampuan mengajar sehingga kebiasaan lama yang kurang efektif dapat segera terdeteksi dan perlahan-lahan dihilangkan. Untuk itu, maka perlu adanya perubahan kebiasaan dalam cara mengajar guru yang diharapkan akan berpengaruh pada cara belajar siswa, diantaranya sebagai berikut:
1. Memperkecil kebiasaan cara mengajar guru baru (calon guru) yang cepat merasa puas dalam mengajar apabila banyak mengaji informasi (ceranah) dan terlalu mendominasi kegiatan belajar peserta didik.
2. Guru hendaknya berperan sebagi pengarah, pembimbing, pemberi kemudahan dengan menyajikan berbagai fasilitas belajar, pemberi bantuan bagi peserta yang mendapat kesulitan belajar, dan pencipta kondisi yang merangsang dan menantang peserta untuk bepikir dan bekerja (melakukan).
3. Mangubah dari sekedar metode ceramah dengan berbagai variasi metode yang lebih relevan dengan tujuan pembelajaran, memperkecil kebiasaan cara belajar peserta yang baru merasa belajar dan puas kalau banyak mengajarkan dan menerima informasi (diceramahi) guru, atau baru belajar kalu ada guru.
4. Guru hendaknya mampu menyiapkan berbagai jenis sumber belajar sehingga peserta didik dapat belajar secara mandiri atah berkelompok, percaya diri, terbuka untuk saling memberi dan menerima pendapat orang lain, serta membina kebiasaan mencari dan mengolah sendiri informasi.
B. Karakteristik Etika Islam
Kriteria yang dijadikan ukuran untuk menentukan baik buruknya tingkah laku, pandangannya terhadap akal dan naluri, yang menjadi motif dan tujuan terakhir dari tingkah laku.
1. Qur’an dan Sunnah Sumber Moral
Sebagai sumber moral atau pedoman hidup dalam Islam yang menjelaskan kriteria baik buruknya sesuatu perbuatan adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Kedua dasar itulah yang menjadi landasan dan sumber ajaran Islam secara keseluruhan sebagai pola hidup dan menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk.
Al-Qur’anul Karim bukanlah hasil renungan manusia, melainkan Firman Allah Yang Maha Pandai dan Maha Bijaksana. Oleh sebab itu setia Muslim berkeyakinan bahwa ajaran kebenaran terkandung di dalam Kitabullah al-Qur’an yang tidak akan dapat ditandingi oleh fikiran manusia.
Ditemukan dalam al-Qur’an yang artinya:
“Sesungguhnya telah datang kepadamu sekalian dari hadlirat Allah, suatu cahaya yang terang dan kitab yang menerangkan. Dengan (kitab) itu Allah menunjuki orang yang menurut keridhan-Nya kepada jalan kesejahteraan, dan Kitab itu mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya yang terang dengan izin-Nya dan Kitab itu menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.”(Q.S. 5 al-Maidah:15-16)
Sebagai pedoman kedua sesudah al-Qur’an adalah Hadist Rasulullah SAW. (Sunnah Rasul) yang meliputi perkataan dan tingkah laku beliau. Hadist Nabi SAW. Juga dipandangi sebagai lampiran penjelasan dari Al-Qur’an tersurat pokok-pokoknya saja.
Al-Hadist sebagai pedoman hidup Muslim dijelaskan dalam al-Qur’an, yang artinya:
“Dan apa yang didatangkan oleh Rasul kepadamu ambillah olehmu dan apa yang dilarangnya kepada kamu jauhilah.”(Q.S. 59 al-Hasyr:7)
“Sesungguhnya pribadi Rasulullah merupakan contoh (suri teladan) yang baik untuk kamu dan untuk orang yang mengharapkan menemui Allah dan hari kemudian dan mengingat Allah sebanyak-banyaknya.”(Q.S. 33 al-Ahzaab: 21)
Jika telah jelas nahwa Al-Qur’an dan Rasul adalah pedoman hidup yang menjadi azas bagi setiap Muslim, maka teranglah keduanya merupakan sumber moral dalam Islam. Firman Allah dan Sunnah Nabi-Nya adalah ajaran yang paling mulia dari segala ajaran manapun hasil renungan dan ciptaan manusia, hingga telah menjadi keyakinan (aqidah) Islam bahwa akal dan naluri manusia harus tunduk mengikuti petunjuk dan pengarahannya. Dari pedoman itulah diketahui kriteria mana perbuatan yang bak dan jahat, mana yang halal dan mana yang haram.
2. Kedudukan Akal dan Naluri
Berbeda dengan teori etika yang memandang bahwa akal dan nalurilah yang menjadi dasar yang menentukan baik buruknya akhlak, maka ajaran etika Islam berpendirian sebagai berikut:
a. Akal dan naluri manusia adalah anugerah Allah,
b. Akal pikiran manusia terbatas hingga pengetahuan manusiapun tidak akan mampu memecahkan seluruh masalah yang ada ini. Karena itu akal masih memerlukan bimbingan dan cahaya petunjuk Rasul akan memperoleh kedudukan yang tepat dan akan dapat menemukan kedudukannya yang benar dan tepat.
c. Naluri manusiapun harus mandapatkan pengarahan dari petunjuk Allah yang dijelaskan dalam Kitab-Nya. Jika tidak, naluri itu akan salah dalam penyalurannya. Misalnya naluri makan, naluri seksual, naluri berjuang dan lain-lainnya, juka diperturutkan begitu saja akan menimbulakn kerusakan. Tetapi jika di arahkan menurut petunjuk-Nya, niscaya akan tetap berjalan di atas fitrahnya yang suci.
Demikianlah kedudukan naluri dan akal dalam pandangan Etika Islam, bahwa keduanya perlu dumanfaatkan dan disalurkan sebaik-baiknya dengan bimbingan dan pengarahan yang di tetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.
3. Motivasi Islam
Tindakan dan pekerjaan manusia selalu didorong oleh suatu motivasi tertentu. Motivasi itu bermacam-macam, ada yang karena kepentingan kekayaan, ingin mahsyur namanya dan lain sebagainya. Adapun dalam pandanga Islam maka yang menjadi pendorong yang paling dalam dan paling kuat untk melakukan sesuatu amal perbuatan yang baik, adalah akidah, iman yang terpatri dalam hati. Iman itulah yang memvbuat seorang Muslim ikhlas, mau bekerja (beramal) keras bahkan rela berkurban. Iman itulah sebagai motivasi dan kekuatan pengerak yang paling ampuh dan pribadinya yang membuat dia tidak dapat dalam diri melakukan kegiatan dan amal shaleh.
Jika “motor iman” itu bergerak, maka keluarlah produksinya berupa amal sholeh dan akhlakul karimah. Dengan demikian hanya dari jiwa yang dihayati iman diharapkan memancar kebaikan dan kebajikan yang sebenarnya. Kebaikan yang lahir tanpa bersumberkan keimanan, adalah kebaikan yang tidak mendapatkan penilaian disisi Allah. Dengan iman itulah, maka seorang mu’min selalu antusias berbuat baik sebanyak-banyaknya. Sabda Rasulullah SAW, yang artinya:
“Sekali-kali tidaklah seorang Mu’min akan merasa kenyang (puas) mengerjakan kebaikan, menjelang puncaknya memasuki surga.”(H.R. Tirmidzi)
Iman yang sempurna menjelmakan cinta dan ta’at kepad Allah STW.
4. Mata Rantai Akhlak
Dengan motivasi Iman, terdoronglah seorang Mu’min mengerjakan kebaikan sebanyak-banyaknya menurut kemampuan tenaganya.
Memanivestasikan iman tersebut terdapat “mata rantai” yang berkaitan dalam hati, dan pembuktin dalam realisasinya, yakni: niat (keikhlasan) dalam hati, dan pembuktian dengan amal perbuatan yang dilaksanakan oleh anggota tubuh.
Sebelum melakukan suatu tindakan, harus didahului dengan niat untuk apa pekerjaan itu dilakukan. Dalam hubungan ini Islam menggariskan pemantapan niat yang perbuatan itu dilakukan semata-mata ikhlas karena Allah.
Setelah niat itu terpasang dalam hati, bergeraklah anggota tubuh (jasmani) menegrjakan kebaikan memprodusir kebajikan sesuai dengan yang diniatkan itu. Dengan perkataan lain dahwa hanyalah perbuatan yang disertai niat, yang dapat diterima dan dupertanggung jawabkan. Amal tanpa niat tidak mendapatkan penilaian dalam pandangan Etika Islam.
5. Tujuan Luhur Etika Islam
Sesuai dengan pola hidup yang diajarkan Islam, bahwa suluruh kegiatan hidup, hatta kematian sekalipun, semata-mata dipersembahkan kepada Allah. Ucapan yang selalu diucapkan dalam do’a iftitah shalat, merupakan bukti nyata tujuan yang tertinggi dari segala tingkah laku menurut pandangan Etika Islam adlah mendapatkan Ridha Allah SWT.
Jika seorang Muslim mencari rizki bukanlah sekedar untuk mengisi perut bagi diri dan keluarganya. Pada hakikatnya dia mempunyai tujuan yang lebih tinggi atau tujuan filosofis dia mencari rizki untuk memenuhi hajat hidupnya itu barulah tujuan yang dekat dan masih ada tujuan yang lebih tinggi lagi. Dia mencari rizki untuk mendapatkan makanan guna membina kesehatanrohani dan jasmani, sedangkan tujuan membina kesehatan itu ialah supaya kuat beribadah dan beramal, yang dengan amal ibadah itulah dia dapat mencapai tujuan yang terakhir, yakni ridha Allah SWT. Jika dia belajar, bukan hanya sekedar memiliki ilmu. Ilmu itu akan menjadi “jembatan emas” dalam membina taqwa dan taqarrub kepada Allah SWT. Supaya menjadi insan yang diliputi ridho Illahi. Tegasnya segala niat, gerak-gerik batin dan tindakan lahir dalam Rtika Islam, haruslah selalu terarah kepada ridha Allah, dan jalan taqwa yang ditempuhnya itulah jalan yang lurus.
Ridha Allah itulah yang menjadi kubci kebahagiaan yang kekal dan abadi yang dijanjikan Allah dan yang dirindukan oleh setiap manusia beriman. Tanpa ridho Allah maka kebahagian abadi dan sejati (surga) tidak akan dapat diraih.
C. Etika Guru Menurut Para Pemikir Muslim
1. Al-Jarnuzi
Dalam al-Munjid nama al-Jarnuzi di sebut singkat sekali. Ditulis di situ bahwa al-Jarnuzi adalah al-Nu’man ibn Ibrahim ibn Khalil al-Jarnuzi, Taz al-Din. Beliau adalah sastrawan (Adib) yang berasal dari bukhara. Semula berasal dari Zarnuj, suatu kawasan dinegeri-negeri seberang sungai Tigris (ma wara’a al-nahr). Beliau antara lain menulis kitab al-Muwadhdhah syarh al-Maqamat al-Haririyah, dan wafat pada tahun 630 H/1242 M.
Al-Zarkeli tidak menuturkan al-Jarnuzi tinggal, namun secara umum al-Jarnuzi hidup pada akhir periode daulah abbasiyah, sebab khalifah abbasiyah terakhir (al-Mu’tashim) wafat pada tahun 1258 M. Ada kemungkinan beliau tinggal dikawasan Irak-Iran, sebab beliau juga mengetahui syair-syair Parsi disamping banyaknya contoh-contoh peristiwa pada masa abbasiyah yang beliau tuturkan dalam kitabnya.
Adapun cara memilih guru menurut al-Jarnuzi ialah carilah yang alim, yang ber sifat wara’ dan yang lebih tua. Sebagimana Abu Hanifah memilih kiai Hammad bin Abi Sulaiman, kerena beliau mempunyai kriteria atau sifat-sifat tersebut maka Abu Hanifah mengaji ilmu kepadanya.
Abu Hanifah berkata, “beliau adalah seorang guru berakhlak mulia, penyantun, dan penyabar.”
Sebagai calon pendidik selayaknya kita mengetahui kriteri guru yang baik. Karena itu merupakan salah satu poin yang dibahas dalam konsep penddikan al-Jarnuzi yalni memilih ilmu, guru, teman dan ketahanan dalam belajar. Dalam pembahasan memilih guru ada beberapa kriteri yang ditulis oleh al-Jarnuzi dalam kitabnya (Ta’lim Muta’alim)..
1. Pedegogik merupakan ilmu yang mengkaji bagaimana membimbing anak, bagaimana sebaiknya pendidik berhadapan dengan anak didik, apa tugas pendidik dan tujuan mendidik anak. Dari kesimpulan tersebut bahwa guru harus paham dan mengerti betul-betul hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan.
2. Seorang guru adalah figur yang berbicara didepan dan harus bisa menghidupkan suasana dengan kemampuan socialnya.
3. Profesional berarti seorang pendidik harus paham betul akan materi yang ia sampaikan. Lebih detail lagi ia selalu akan tugas atau materi yang ia bawakan kemaren, sehingga materi yang dibawakan itu akan terus nyambung bagaikan mata rantai yang seling membutuhkan satu sama lain.
4. Guru tidak hanya sebagai pentransfer ilmu, akan tetapi juga sebagai pengajar etika yang berperan sebagai uri tauladan. Konsep orang jawa bahwa guru adalah orang yang di gugu dan ditiru, artinya guru adalah orang yang dihormati dan menjadi tauladan bagi muridnya. Maka guru harus mengisi kepribadiannya dengan akhlakul karimah.
Dari keempat kriteri diatas, bukan berarti salah satu atau salah dua yang harus dimiliki oleh pendidik profesional, akan tetapi kesemua itu bagaikan mata rantai yang berurutan yang memang satu sama lain harus berhubungan dan melengkapi. Sehingga hal itu akan menjadi efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan pendidikan.(Ta’lim al-Muta’alim Thariq al-Ta’allum)
2. Ibn Al-Jama’ah
1. Riwayat Hidup Ibn Al-Jama’ah
Nama lengkap Ibn Jama’ah adalah Badruddin Muhammad ibn Ibrahim ibn Sa’ad Allah ibn Jama’ah ibn Hazim ibn Shakhr ibn Abd Allah al-Kinany. Ia lahir di Hamwa, Mesir, pada malam Sabtu, tanggal 4 Rabi’ul Akhir, 639 H./ 1241 M., dan wafat pada pertengahan malam akhir hari Senin, tanggal 21 Jumadil ‘Ula tahun 733 H./1333 M., dan dimakamkan di Qirafah, Mesir. Dengan demikian usianya 64 tahun 1 bulan 1 hari. Pendidikan awal yang diperoleh Ibn Jama’ah berasal dari ayahnya sendiri, yaitu Ibrahim Sa’ad Allah ibn Jama’ah (596-675 H.),seorang ulama besar ahli fiqih dan sufi. Selain kepada ayahnya, Ibn Jama’ah juga berguru kepada sejumlah ulama. Ketika berada di Hammah, ia berguru kepada Syaikh as-Syuyukh ibn Izzun, dan ketika di Damaskus, ia berguru kepada Abi al-Yasr, Ibn Abd Allah, Ibn al-Azraq, Ibn Ilaq ad-Dimasyqi. Selanjutnya ketika ia di Kairo, ia berguru kepada Taqy ad-Din ibn Razim, Jamal ad-Din ibn Malik, Rasyid at-Tahar, Ibn Abi Umar, At-Taj al-Qasthalani, Al-Majd ibn Daqiq al-‘Id, Ibn Abi Musalamah, Makki ibn ‘Illan, Isma’il al-‘Iraqi, Al-Mushthafa, Al-Bazaraiy dan lain-lain.
Berkat didikan dan pengembaraan dalam menuntut ilmu tersebut, Ibn Jama’ah kemudian menjadi seorang ahli hukum, ahli pendidikan, juru dakwah, penyair, ahli tafsir, ahli hadits dan sejumlah keahlian dalam bidang lainnya. Namun demikian Ibn Jama’ah tampak lebih menonjol dan dikenal sebagai ahli hukum, yakni sebagai hakim. Hal ini disebabkan karena dalam sebagian masa hidupnya dihabiskan untuk melaksanakan tugasnya sebagai hakim di Syam dan Mesir. Sedangkan propesinya sebagai pendidik, terjadi ketika ia bertugas mengajar di beberapa lembaga pendidikan seperti di Qimyariyah, sebuah lembaga pendidikan yang di bangun oleh Ibn Thulun di Damasyqus dalam waktu yang cukup lama.
Dilihat dari masa hidupnya, Ibn Jama’ah hidup pada masa Dinasti Ayyubiyah. Dinasti Ayyubiyah dengan pimpinanya Shalahuddin Al-Ayyubi menggantikan Dinasti Fatimiyah pada tahun 1174 M. dinasti Ayyubiyah diketahui telah membawa angin segar bagi pertumbuhan dan perkembangan paham sunni, terutama dalm bidang fiqh Syafi’iyah. Sedangkan pada masa Dinasti Fatimiyah yang dikembangkan adalah paham Syi’ah. Dia mempunyai pengaruh besar tehadap ilmu-ilmu agama dan mempunyai sejumlah pengikut serta murid-murid yang banyak jumlahnya. Sejumlah ulama yang menjadi muridnya Ibnu Jama’ah antara lain Kammal bin Hummam, Ibnu Quzail, Syams al-Din al-Qayati, Muhib al-Din al-Aqsara’I dan Ibnu Hajar. Ibnu Jama’ah banyak bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat, senang bercanda, akan tetapi tidak menyukai bergunjing meskipun bergurau.
Pada masa Ibn Jama’ah telah muncul berbagai lembaga pendidikan. diantaranya adalah:
Ø Kuttab, yaitu lembaga pendidikan dasar yang dibangun untuk memberikan kemampuan membaca dan menulis.
Ø Pendidikan istana, yaitu lembaga pendidikan yang di khususkan untuk anak-anak pejabat dan keluarga istana. Kurikulum yang di buat tersendiri yang didasarkan pada kemampuan anak didik dan kehendak orang tua anak.
Ø Kedai atau toko kitab yang fungsinya sebagai tempat untuk menjual kitab serta tempat berdiskusi diantara pelajar.
Ø Rumah para ulama, yaitu tempat yang sengaja disediakan oleh para ulama untuk mendidik para siswa.
Ø Rumah sakit yang di kembangkan selain untuk kepentingan medis juga untuk mendidik tenaga-tenaga yang akan bertugas sebagai perawat dan juga sebagai tempat pengobatan.
Ø Perpustakaan yang berfungsi selain tempat menyimpan buku-buku diperlukan juga untuk keperluan diskusi dan melakukan penelitian. Diantara perpustakaan yang cukup besar adalah Dar al-Hikmah.
Ø Masjid yang berfungsi selain tempat melakukan ibadah shalat, juga sebagai kegiatan pendidikan dan social.
Selain itu, pada masa Ibn Jama’ah juga telah berkembang lembaga pendidikan madrasah. Menurut Michael Stanton, Madrasah yang pertama kali didirikan adalah Madrasah Nizham al-Muluk yang didirikan oleh Wazir Nizhamiyah pada tahun 1064 M. Sementara itu Richaerd Bulliet berpendapat bahwa madrasah yang pertama kali dibangun adalah Madrasah Bayhaqiyah yang didirikan oleh Abu Hasan Ali al-Baihaqy pada tahun 400 H./1009 M. bahkan menurut Bullet ada 39 Madrasah yang berkembang di Persia, Iran yang dibangun dua abad sebelum Madrasah Nizham al-Muluk. Dengan demikian, pada masa Ibn Jama’ah lembaga pendidikan telah berkembang pesat dan telah mengambil bentuk yang bermacam-macam. Suasana inilah yang membantu mendorong Ibn Jama’ah menjadi seorang ulama yang menaruh perhatian terhadap pendidikan.
2. Etika Guru Menurut Ibn Al-jama’ah
Konsep Guru/Ulama Menurut Ibnu Jama’ah bahwa ulama sebagai mikrokosmos manusia dan secara umum dapat dijadikan sebagai tipologi makhluk terbaik (khair al-bariyah). Atas dasar ini, maka derajat seorang alim berada setingkat dibawah derajat Nabi. Hal ini didasarkan pada alasan karena para ulama adalah orang yang paling takwa dan takut kepada Allah SWT. Dari konsep tentang seorang alim tersebut, Ibnu Jama’ah membawa konsep tentang guru. Untuk itu Ibnu Jama’ah menawarkan sejumlah etika yang harus dipenuhi oleh seorang guru. Etika pendidik tersebut meliputi 6 hal.
a. menjaga akhlak selama melaksanakan tugas pendidikan.
b. tidak menjadikan profesi guru sebagai usaha untuk menutupi kebutuhan ekonominya.
c. mengetahui situasi social kemasyarakatan.
d. kasih sayang dan sabar.
e. adil dalam memperlakukan peserta didik.
f. menolong dengan kemampuan yang dimilikinya.
Dari keenam etika tersebut, yang menarik adalah etika tentang tidak bolehnya profesi guru dijadikan sebagai usaha mendapatkan keuntungan materil, suatu konsep yang di masa sekarang tampak kurang relevan, karena salah satu ciri kerja professional adalah pekerjaan dimana orang yang melakukannya menggantungkan kehidupan di atas profesinya itu. Namun Ibnu Jama’ah berpendapat demikian sebagai konsekuensi logis dari konsepnya tentang pengetahuan. Bagi Ibnu Jama’ah pengetahuan (ilmu) sangat agung lagi luhur, bahkan bagi pendidik menjadi kewajiban tersendiri untuk mengagungkan pengetahuan tersebut, sehingga pendidik tidak menjadikan pengetahuannya itu sebagai lahan komoditasnya, dan jika hal itu dilakukan berarti telah merendahkan keagungan pengetahuan. Secara umum etika-etika tersebut diatas menampakkan kesempurnaan sifat-sifat dan keadaan pendidik dengan memiliki persyaratan-persyaratan tertentu sehingga layak menjadi pendidik sebagaimana mestinya.
3. Al-Ghazali
1. Riwayat Hidup Al-Gazhali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhamad bin Muhamad Al-Ghazali di lahirkan di Thus, sebuah kota di Khurasam Persia pada tahun 450 H atau 1058 M. Ayahnya seorang pemintal wol yang selalu memintal dan menjualnya sendiri di kota itu. Al-Ghazali memepunyai seorang sodara, ketika akan meninggal ayahnya berpesan kepada sahabat setianya agar kedua putranya itu di asuh dan disempurnakan pendidikanya setuntas-tuntasnya. Sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah Al-Ghazali kedua anak itu di didik dan di sekolahkan. Setelah harta ayah mereka habis, mereka di nasehati agar meneruskan mencari ilmu semampunya. (Ahmad Tafsir, 2001:177)
Imama al-Ghazali kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pandai dan soleh. Dia juga dikenal sebagai seorang anak pecinta ilmu pengetahuan dan penggandrung pencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa duka nestapa dan sengsara.
Pada awal studi nya, Al-Ghazali mengalami peristiwa menarik, yang kemudian mendorong kemajuannya dalam pendidikan suatu hari, dalam perjalanan ketempat asalnya, Al-Ghazali dihadang oleh segerombolan perampok. Mereka merampas semua bawaan Al-Ghazali termasuk catatan kuliahnya. Al-Ghazali meminta kepada perampok itu agar mengembalikan catatanya, yang baginya sangat bernilai. Kepala perampok itu malah menertawakan dan mengejeknya, sebagai penghinaan terhadap Al-Ghazali yang ilmunya hanya tergantung kepada beberapa helai kertas saja. Tanggapan Al-Ghazali terhadap peristiwa itu sangat positif. Ejekan itu digunakan untuk mencabuk dirinya dan menjamkan ingatannya dengan menghapal semua catatan kuliahnya (Abidin Ibnu Rusn,1998:10)
Pada masa kecilnya Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh dinegerinya sendiri pada Ahmad bin Muhamad Ar-ridzkani kemudian kepada Abi Nashr Al –Ismail di Jurjani. Setelah mempelajari ilmu di negeri tersebut berangkatlah Al-Ghazali ke naisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu al-juwaini imam al-haramain. Dari beliau ini dia belajar ilmu kalam, ushul fiqh dan ilmu pengetahuan yang lainnya.
Setelah menamatkan studi di Thus dan jurjan, Al-Ghazali melanjutkan dan meningkatkan pendidikannya di naisabur, dan ia bermukim disana. Tidak beberapa lama mulailah mengaji kepada Al-juainy, salah seorang pemuka agama yang terkenal dengan sebutan imamul Haramain. Kepadanya beliau belajar ilmu kalam, tasawuf, dan filsafat.
Tetapi akhirnya peristiwa itu mengharuskannya melangkah lebih jauh, ditinggalah Naisabur menuju Mu’asakar, suatu tempat atau lapangan luas yang disana di dirikan barak-barak militer Nidhamul Muluk perdana mentri saljuk tempat itu juga sering di gunakan untuk berkumpul para ulama ternama.kemudian pada tahun 1091 M/484 H beliau diangkat menjadi dosen pada Universitas Nidhamiyah, Baghdad. Atas prestasinya yang kian meningkat pada usia 34 tahun ia diangkat menjadi pemimpin (rektor)Universitas tersebut. Hanya empat tahun beliau menjadi rektor, setelah itu ia mengalami krisis rohani, krisis keraguan yang meliputi aqidah dan semua jenis ma’rifat. Secara diam-diam beliau meninggalkan Baghdad menuju syam untuk menjalankan zuhud disana.
Setelah hampir dua tahun, Al-Ghazali menjadi hamba Allah yang betul-betul meampu mengendalikan gejolak hawa nafsunya. Ia menghabiskan waktu untuk berkhalwat, ibadah, dan i’tikaf di sebuah mesjid di Damaskus berdzikir sepanjang hari. Untuk melanjutkan taqarubnya kepada Allah, beliau pindah keBaitul Maqdis, dari sinilah ia bergerak hatinya untuk memnuhi panggilan Allah menjalankan ibadah haji, setelah itu ia menuju hijaz.
Setelah melanglang buana selama sepuluh tahun, atas desakan Pakhrul Muluk, Al-Ghazali kembalai ke Naisabur untuk melanjutkan kegiatannya mengajar di Universitas Nidhamiyah, sekarang ia tamoil sebagai tokoh pendidikan yang betul-betul mewarisi dan mempraktekan ajaran Rasulullah Saw. Fakhrul Muluk merasa gembira atas kembalinya Al-Ghazali mengajar di Universitas di kota itu.
Tidak diketahui secara pasti berapa lama Al-Ghazali memberikan kuliah di Nidhamiyah, setelah sembuh dari krisis rohani. Tidak lama setelah Fakhrul Muluk mati terbunuh pada tahun 500 H/ 1107 M, Al-Ghazali kembali ketempat asalnya di Thus, Ia menghabiskan umurnya untuk membaca Al-Qur’an dan Hadits serta mengajar. Pada hari senin tanggal 14 Jumadil Tsaniyyah tahun 505 H/18 Desember 1111 M, Al-Ghazali pulang kehadirat Allah dalam usia 55 tahun.
2. Etika Guru menurut Al-Ghazali
Al-Ghazali menyatakan sebagaimana yang dikutip Abudin Nata (2000:95) bahwa guru yang diberi tugas mengajar adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal Ia dapat memiliki ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia menjadi contoh dan teladsan bagi para muridnya serta dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar dan mengarahkan anak muridnya dengan baik dan sesuai target yang diharapkan.
Seorang pendidik harus menghias dirinya dengan akhlak yang diharuskan sebagai orang yang beragama atau sebagai mukmin. Selain itu ia juga harus bersikap zuhud dan Qona’ah. Oleh sebab itu, bagi seorang guru harus memilki etika dan persyaratan yang sesuai dengan tingkatan lapisan orang yang menuntut ilmu tersebut. Dalam hal ini, Al-Ghazali yang merupakan salah satu tokoh pemikir pendidikan islam memberi batasan-batasan tertentu tentang etika guru seperti yang dikutip oleh Abudin Nata (2001:98) sebagai berikut :
a. Bersikap lembut dan kasih sayang kepada para pelajar
Dalam kaitan ini Al-Ghazali menilai bahwa seorang guru dibandingkan dengan orang tua anak, maka guru lebih utama dari orang tua tersebut. Menurutnya orang tua berperan sebagai penyebab adanya si anak di dunia yang sementara ini, sedangkan guru menjadi penyebab bagi keberadaan kehidupan yang kekal di akhirat. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
“sesungguhnya saya bagimu adalah seperti orang tua kepada anaknya” (Muahammad Zuhri, 1990:171)
b. Guru bertugas untuk mengikuti nabi sebagai pemilik syara
Al-Ghazali menjelaskan bahwa seorang guru tidak meminta imbalannya atas tugas mengajarnya. Hal yang demikian karena mengikuti apa yang dilakukan Allah dan Rasul-Nya yang mengajar manusia tanpa meminta imbalan, tanpa meminta ucapan terima kasih semata-mata karena Allah. Oleh sebab itu, seorang guru harus melaksanakan tugas mengajarnya sebagaimana anugerah dan kasih sayang kepad orang yang membutuhkan atau memintanya, tanpa disertai keinginan tanpa disertai keinginan untuk mendapatkan upah.
c. Jangan meninggalkan nasehat-nasehat guru
Guru diharapkan memperingatkan murid-muridnya bahwa tujuan mencari ilmu adalah mendekatkan diri kepada allah, bukan kepemimpinan, kemegahan dan perlombaan. Ia juga harus sungguh-sungguh tampil sebagai penasihat, pembimbing para pelajar ketika para pelajar itu membutuhkannya. Untuk itu di upayakan dan diberikan kesadaran kepada seluruh murid agar jangan sampai mereka meninggalkan apa-apa yang pernah diberikan dan di ajarkan oleh guru kepada muridnya.
d. Menanamkan hal-hal yang halus
Dalam hal ini guru berkewajiban mencegah muridnya dari akhlak yang buruk dengan cara menghindarinya sedapat mungkin. Seorang guru ketika memberikan pengajaran hendaknya memakai cara-cara yang lembut dan halus agar apa-apa yang disampaikannya dapat diserap dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk itu Al-Ghazali menyerukan agar menempuh cara m,engajar yang benar, seperti cara mengulang bukan menjelaskan, kasih sayang bukan merendahkan, karena menjelaskan akan menyebabkan tersumbatnya potensi anak dan menyebabkan timbulnya rasa bosan dan mendorong hapalannya. Dengan demikian mengajar memerlukan keahlian yang khusus.
e. Supaya diperhatikan tingkat akal fikiran anak-anak dan berbicara dengan mereka menurut kadar akalnya
Dalam hal ini Al-Ghazali melihat kebiasaan dari sebagian guru fiqih yang menjelekan guru bahasa dan sebaliknya, sebagian ulama kalam memusuhi ulama fiqih demikian seterusnya sehingga sikap saling menghina dan mencela guru lain di depan anak-anak merupakan bagian yang harus dihindari dan di jauhi oleh seorang guru. Selain itu guru juga dalam melaksanakan proses belajar mengajar hendaknya menyesuaikan dengan perkembangan dan pentahapan psikologi dan jiwanya. Hal ini agar ketika menyampaikan materi pelajaran, anak tidak merasa tidak terlalu berat dan terbebani.
f. Jangan ditimbulkan rasa benci pada diri murid
Tugas ini memberikan pemahaman kepada murid agar tidak membenci cabang ilmu yang lain, tetapi seyogyanya dibukakan jalan bagi mereka untuk belajar cabang ilmu tersebut artinya simurid jangan terlalu fanatik. Hal ini juga bisa ditanamkan dan diberikan kesadaran bahwa semua ilmu itu berasal dari allah, dan ketika kita mempelajari satu cabang ilmu apapun itu, berarti kita sudah mempelajari hakikat kebenaran dari allah.
g. Guru harus kerja sama dengan murid dalam membahas dan menjelaskan
Dalam menyampaikan suatu ilmu pengetahuan, guru tidah usah menyebutkan dibalik semua ini sesuatu yang detail karena hal itu menghilangkan kesenangannya, mengacaukan hatinya dan menduga guru bersikap kikir. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa belajar sendiri memiliki pemahaman dan kecerdasannya lebih sempurna dan mampu untuk mengungkapkan apa yang disanpaikan atau datang kepadanya. Al-Ghazali mengatakan, bahwa mungkin saja terjadi seorang pelajar diberikan kecerdasan dann kesempurnaan akal oleh allah SWT sehingga ia amat cerdas dan brilian, sehingga keadaanya lebih beruntung.
h. Guru harus mengamalkan ilmunya
Dalam hal ini guru dilarang mendustakan perkataanya karna ilmu itu diperoleh dengan pandangan hati, sedangkan pengalaman diperoleh dengan pandangan mata. Allah befirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 44 yang artinya “apakah kamu suruh orang berbuat baik dan sedangkan kamu melupakan dirimu” (Depag RI, 992:16)
4. Tokoh Muslim Lainnya
a. Ibnu Maskawih
Seorang ahli pikir Islam terkemuka, asal Majusi bernama Ahmad vbin Muhammad bin Ya’kub atau Maskawih (wafat tahun 241 H), menampilkan tujuannya tentang akhalk disamping memperkatakan masalah-masalah lainnya yang berhubungan dengan filsafat. Sumber-smber pemikirannya bercorak Islam dan bahan-bahan yang dipelajarinya dari filsafat Yunani ajaran Persia dan pengalamannya sendiri.
Uraian-uraian mengenai akhlak Ibnu Maskawih diutarakan dalam bukunya “Tahzidul Akhlak”. Hal-hal yang ditonjolkannya ialah: jiwa manusia mempunyai tuga tingkatan:
1. Annafsul bahumiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk,
2. Annafsus sabu’uyah (nafsu binatang buas) yang sedang,
3. Annafsun nathiqah (jiwa yang cerdas), yang baik menurut anggapannya.
Sifat buruk dari jiwa ialah mempunyai kelakukan berani babi, pengecut, ujub (pongah), sombong, olok-olok, nanar, penipu dan hina dina. Sebagai khususiyat dari jiwa yang cerdas ialah mempumyai sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar, pemurah, benar dan cinta.
Kebajikan bagi suatu makhluk yang hidup dan berkemaun adalah apa yang dapat mencapai tujuan dan kesempurnaan adanya. Segala yang ada ini baik jika ia mempunyai persediaan yang cukup guna melaksanakan sesuatu tujuan. Tetapi setiap orang memiliki perbedaan yang pokok dalam persedian bakatnya.
Selanjutnya meburut Ibnu Maskawih, di antara manusia ada yang baik dari asalnya. Golongan ini tidak akan cenderung kepada kejahatan, meski bagaimana juga, karena sesuaru yang memang dari asal tak akan berubah. Golongan ini merupak minoritas.
Golongan yang memang jahat dari asalnya adalah mayoritas, sama sekali tidak akan cenderung kepada kebajikan. Di antara kedua golongan tersebut ada golongan yang dapat beralih kepada kebaikan dan kejahatan, karena pendidikan atau pengaruh lingkungan.
Berbicara tentang kebajikan, Ibnu Maskawih menerangkan bahwa kebajikan itu adakalanya bersifat umum dan khusus, ada kebajikan mutlak dan ada ilmu pengetahuan yang luhur di mana semua orang yang baik akan berusaha mencapainya.
Dalam hubungan ini dibedakan antara kebajikan dan perasaan beruntung. Kebajikan ialah yang dituju setiap orang dengan perasaan beruntung, tak lain dari pada semacam kebajikan yang hanya diperuntukan bagi setiap individu. kebajikan mempunyai bentuk tertentu, sedangkan perasaan beruntung dersifat relatif, dapat berubah sifat dan bentuknya menurut perasaan orang-orang yang hendak mencapainya. Demikianlah pokok-pokok pndangan etuka Ibnu Maskawih.
b. Ikhwanussafa
Sekelompok ahli-ahli pikir yang tergabung dalam “akhwanussafa”, dalam abad kesepuluh Masehi di Bashrah telah mengadakan diskusi-diskusi rahasia dalam masalah-masalah filsafat ummat Islam pada masa itu yang banyak dikacaukan oleh alam pikiran yang datang dari luar Islam. Mereka itu antara lain:
1. Abu Sulaiman bin Mu’syir al-Busti al-Muqaddasi,
2. Abul Hasan Ali bin Harun az-Zanjabi,
3. Abu Ahmad al-Mihrajjani,
4. Aufi,
5. Zaid bin Rifa’ah.
Mereka lakukan diskusi rahasia itu karena kondisi penguasa pada waktu itu tidak memungkinkan adanya diskusi terbuka. Adapun pokok-pokok pemikiran mereka adalah sebagai berikut:
a. Bahwa syari’at Islam yang suci, pada zaman mereka telah dimasuki oleh kejahilan dan kekeliruan orang-orang Islam,
b. Cenderung kepada sifat zuhud dan kerohanian,
c. Manusia menjadi baik bila bertindak sesuai sengan tabiat aslinya yakni perbuatan yang terbit dari renungan akal dan pikiran,
d. Perasaan cimta adalah budi pekerti yang paling luhur terutama cinta kepada Allah SWT. Perasaan cinta dalam penghidupan di dunia dalam bentuk harga-menghargai dan tasawuf (toleransi),
e. Jasad manusia adalah kejadian yang rendah dan hakikat manusia adalah jiwanya. Sekalipun demikian, manusia perlu juga memperhatika jasadnya agar dapat memperoleh kamajuan.
Demikian antara lain garis-garis pemikiran etika Ikhwanussafa.
c. Al-Farabi.
Abu Nasher Muhammad bin Quzlaq bin Thurkan al-Farabi (879-950), ahli pikir Islam yang menitik beratkan pandangan etikanya pada masalah kenegaraan dalam bukunya yang berjudul: “Ar-Ra’yu ahlil madinatil Fadilah” yang antara lain mengemukakan:
a. Negeri yang utama (madinatul fadlilah) ialah negeri yang memperjuangkan kemakmuran dan kebahagiaan warga negaranya,
b. Untuk kepentingan itu, haruslah berpedoman dengan contoh teraturnya hubungan antaraAllah dengan alam semesta dan di antara isi alam satu dengan yang lainnya,
c. Klasifikasi masyarakat ada dua macam. Pertama, masyarakat sempurna. Kedua, masyarakat yang tidak sempurna. Masyarakat sempurna ialah masyarakat yang mengandung keseimbangan yang ada dalam diri manusia.
d. Timbulnya masyarakat karena tiga macam: pertama kerana adanya kekuasaan seseorang yang kuat sepeti raja atau panglima yang memimpin dan mempersatukan masyarakat itu. Kedua, karena persamaan keturunan atau perhubungan daerah di abtara warganya. Ketiga, karena hubungan perkawinan antara keluarga.
e. Setiap keadaan mengandung unsur pertentangan. Sebagai contoh dapat dilihat dalam kehidupan hewani, yaitu bahwa yang kuat menindas yang lemah, yang menang menuntut keadilan.
d. Ibnu Bayah
Ibnu Bayah (1095-1137 M) di Eropa lebih mahsyur dengan nama AVENPACE. Ahli pikir Islam ini dilahirkan di Saragosa (Spanyol) sebagai filosof Islam pertama di dunia Barat (Andalusia). Macam-macam ilmu pengetahuan yang dikuasainya.
Khususnya dalam masalah etika ia mempunyai pandangan sebagai berikut:
a. Faktor rohaniah yang menggerakkan manusia melakukan perbuatan,
b. Sebagai akhlak manusia ada yang sama dengan akhlak hewan, misalnya sifat beraninya macan, sombongnya merak, rakus, malu dan patuh dari pelbagai binatang. Tetapi sifat akali manusia yang menjadi pangkal ilmunya adalah sifat kesempurnaan yang dapat mengatasi sifat-sifat hewani tersebut,
c. Manusia yang tidak mengindahkan sifat kesempurnaannya (akalnya) berarti hanya mencukupkan dirinya pada sifat-sifat hewani saj dan keutamaannya menjadi hilang.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas jelaslah bahawa seorang guru Muslim memiliki peranan bukan saja di dalam sekolah, tetapi juga diluarnya. Oleh yang demikian menyiapkannya juga harus untuk sekolah dan untuk luar sekolah. Maka haruslah penyiapan ini juga dipikul bersama oleh institusi-institusi penyiapan guru seperti fakulti-fakulti pendidikan dan maktab-maktab perguruan bersama-sama dengan masyarakat Islam sendiri, sehingga guru-guru yang dihasilkannya adalah guru yang soleh, membawa perbaikan (muslih), memberi dan mendapat petunjuk untuk menyiarkan risalah pendidikan Islam. Petunjuk (hidayah) Islam di dalam dan di luar adalah sebab tujuan pendidikan dalam Islam untuk membentuk generasi-generasi umat Islam yang memahami dan menyedari risalahnya dalam kehidupan dan melaksanakan risalah ini dengan sungguh-sungguh dan amanah dan juga menyedari bahawa mereka mempunyai kewajipan kepada Allah S.W.T dan mereka harus melaksanakan tugas itu dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Begitu juga mereka sedar bahawa mereka mempunyai tanggung jawab, maka mereka menghadapinya dengan sabar, hati-hati dan penuh prihatin. Begitu juga mereka sedar bahawa mereka mempunyai tanggungjawab terhadap masyarakatnya, maka mereka melaksanakannya dengan penuh tanggungjawab, amanah, professionalisme dan kecekalan. Dengan demikian umat Islam akan mencapai cita-citanya dalam kehidupan dengan penuh kemuliaan, kekuatan, ketenteraman dan kebanggaan. Sebab Allah S.W.T telah mewajibkan kepada diriNya sendiri dalam surah al-Nahl ayat ke 97,
DAFTAR PUSTAKA
Ya’kub, Hamzah. Etika Islam Pembinaan Akhlakulkarimah (suatu pengantar). CV Diponegoro: Bandung. 1996.
Uno, Hamzah, B. Profesi Kependidakan. PT Bumi Aksara: Jakarta. 2007.
ZakiaH, Daradjat. Kepribadian Guru. PT Bulan Bintang: Jakarta. 2005.
Az-Zamuji, Syaikh. Terjemah Ta’lim Muta’alim. Mutiara ilmu: Surabaya.1995.
Hasan, Langgulung. Penghayatan dan Pengamalan Nilai dan Etika Keguruan Menurut Islam.
Ibrahim al-Khalil al-Jarnuzi bin, al-Nu’man. Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum. Dar al-Kutub al-Islamiyyah